English French German Dutch Japanese Chinese Simplified
  • Bagaimana Keindahan Tanah Papua semua ada disini.. Kumpulam Objek Wisata Papua Barat dan Papua
  • Bagaimana kemajuan pembangunan menyentuh Kampung-Kampung di Tanah Papua
  • Undang-undang OTSUS dan Kemajuan Papua Bersama NKRI
  • Belajar utak-atik Blackberry dan berbagai aplikasi Blackberry
  • Barbagi kisah dan lika-liku Hidup Rakyat Papua dimata NKRI
  • Barbagi Artikel dan Nasehat Untuk Menempuh hidup dalam mengejar kesuksesan
  • Berbagi Cerita Lucu Ala Papua atau yang sering dibilang MOB Alias Menipu Orang Banyak...Wakakakaka!!
  • Kumpulan Foto-foto bersama Keluarga tercinta..

Bakar Batu

Pesta Bakar Batu  mempunyai makna tradisi bersyukur yang unik dan khas. dan merupakan sebuah ritual tradisional Papua yang dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur atas berkat yang melimpah, pernikahan, penyambutan tamu agung, dan juga sebagai upacara kematian. Selain itu, upacara ini juga dilakukan sebagai bukti perdamaian setelah terjadi perang antar-suku.
Sesuai dengan namanya, dalam memasak dan mengolah makanan untuk pesta tersebut, suku-suku di Papua menggunakan metode bakar batu. Tiap daerah dan suku di kawasan Lembah Baliem memiliki istilah sendiri untuk merujuk kata bakar batu. Masyarakat Paniai menyebutnya dengan gapii atau ‘mogo gapii‘, masyarakat Wamena menyebutnya kit oba isago, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan barapen. Namun tampaknya barapen menjadi istilah yang paling umum digunakan.Pesta Bakar Batu juga merupakan ajang untuk berkumpul bagi warga. Dalam pesta ini akan terlihat betapa tingginya solidaritas dan kebersamaan masyarakat Papua. Makna lain dari pesta ini adalah sebagai ungkapan saling memaafkan antar-warga.

Prosesi Pesta Bakar Batu biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan, bakar babi, dan makan bersama. Tahap persiapan diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan untuk memasak. Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan sebagai berikut, pada bagian paling bawah ditata batu-batu berukuran besar, di atasnya ditutupi dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu. Kemudian tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas. Semua ini umumnya dikerjakan oleh kaum pria.
Pada saat itu, masing-masing suku menyerahkan babi. Lalu secara bergiliran kepala suku memanah babi. Bila dalam sekali panah babi langsung mati, itu merupakan pertanda bahwa acara akan sukses. Namun bila babi tidak langsung mati, diyakini ada yang tidak beres dengan acara tersebut. Apabila itu adalah upacara kematian, biasanya beberapa kerabat keluarga yang berduka membawa babi sebagai lambang belasungkawa. Jika tidak mereka akan membawa bungkusan berisi tembakau, rokok kretek, minyak goreng, garam, gula, kopi, dan ikan asin. Tak lupa, ketika mengucapkan belasungkawa masing-masing harus berpelukan erat dan berciuman pipi.

Di lain tempat, kaum wanita menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak. Babi biasanya dibelah mulai dari bagian bawah leher hingga selangkang kaki belakang. Isi perut dan bagian lain yang tidak dikonsumsi akan dikeluarkan, sementara bagian yang akan dimasak dibersihkan. Demikian pula dengan sayur mayur dan umbi-umbian.
Kaum pria yang lainnya mempersiapkan sebuah lubang yang besarnya berdasarkan pada banyaknya jumlah makanan yang akan dimasak. Dasar lubang itu kemudian dilapisi dengan alang-alang dan daun pisang. Dengan menggunakan jepit kayu khusus yang disebut apando, batu-batu panas itu disusun di atas daun-daunan. Setelah itu kemudian dilapisi lagi dengan alang-alang. Di atas alang-alang kemudian dimasukan daging babi. Kemudian ditutup lagi dengan dedaunan. Di atas dedaunan ini kemudian ditutup lagi dengan batu membara, dan dilapisi lagi dengan rerumputan yang tebal. 

Setelah itu, hipere (ubi jalar) disusun di atasnya. Lapisan berikutnya adalah alang-alang yang ditimbun lagi dengan batu membara. Kemudian sayuran berupa iprika atau daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang), dan towabug atau hopak (jagung) diletakkan di atasnya. Tidak cukup hanya umbi-umbian, kadang masakan itu akan ditambah dengan potongan barugum (buah). Selanjutnya lubang itu ditimbun lagi dengan rumput dan batu membara. Teratas diletakkan daun pisang yang ditaburi tanah sebagai penahan agar panas dari batu tidak menguap.
Sekitar 60 hingga 90 menit masakan itu sudah matang. Setelah matang, rumput akan dibuka dan makanan yang ada di dalamnya mulai dikeluarkan satu persatu, kemudian dihamparkan di atas rerumputan. Sesudah makanan terhampar di atas, ada orang yang akan mengambil buah merah matang. Buah itu diremas-remas hingga keluar pastanya. Pasta dari buah merah dituangkan di atas daging babi dan sayuran. Garam dan penyedap rasa juga ditaburkan di atas hidangan.
Kini tibalah saatnya bagi warga untuk menyantap hidangan yang telah matang dan dibumbui. Semua penduduk akan berkerumun mengelilingi makanan tersebut. Kepala Suku akan menjadi orang pertama yang menerima jatah berupa ubi dan sebongkah daging babi. Selanjutnya semua akan mendapat jatah yang sama, baik laki-laki, perempuan, orang tua, maupun anak-anak. Setelah itu, penduduk pun mulai menyantap makanan tersebut. 

Pesta Bakar Batu merupakan acara yang paling dinantikan oleh warga suku-suku pedalaman Papua. Demi mengikuti pesta ini mereka rela menelantarkan ladang dangan tidak bekerja selama berhari-hari. Selain itu, mereka juga bersedia mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk membiayai pesta ini.
Pesta ini sering dilaksanakan di kawasan Lembah Baliem, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Indonesia.
Namun, kepastian titik lokasi dilaksanakannya  ini tidak menentu. Jika sebagai upacara kematian maupun pernikahan, pesta ini akan dilaksanakan di rumah warga yang memiliki hajatan. Namun, bila upacara ini sebagai ucapan syukur atau simbol perdamaian biasanya akan dilaksanakan di tengah lapangan besar.

Kondisi geografis Papua yang sebagian besar berupa hutan, perbukitan, serta pegunungan, menyebabkan akses menuju lokasi diadakannya  menjadi sulit. Bagi Anda yang ingin pergi ke Papua, Anda dapat menggunakan transportasi laut maupun udara. Inilah daftar kapal yang berlayar menuju Papua:
  • KM Dorolonda berlayar dari Surabaya, Makassar, Kupang, Ambon, Fakfak, Sorong, Manokwari, Jayapura.
  • KM Nggapulu berlayar dari Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Pantolan, Bitung, Ternate, Sorong, Manokwari, Nabire, Serui, Biak, dan Jayapura.
  • KM Labobar berlayar dari Batam, Jakarta, Surabaya, Makassar, Sorong, Manokwari, Nabire, dan Jayapura.
  • KM Sinabung yang berlayar dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Bau-bau, Banggai, Bitung, Ternate, Sorong, Manokwari, Biak, Serui, Jayapura.
Sedangkan bagi Anda yang ingin menggunakan transportasi udara, Anda dapat menggunakan jasa maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airline (GIA), Merpati Nusantara Airline (MNA), Air Efata, Batavia Air, Express Air, dan Trigana Air dari Jakarta, Surabaya, serta Makassar.
Jika sudah sampai di Papua, Anda dapat meneruskan perjalanan menggunakan pesawat-pesawat kecil yang melayani penerbangan ke daerah-daerah pedalaman. Selain itu Anda juga dapat menggunakan mobil off-road sewaan.
Pengunjung yang ingin menyaksikan pesta ini tidak dipungut biaya. Namun, jika yang didatangi adalah pesta untuk upacara kematian, maka biasanya tamu membawa buah tangan.
Biasanya, Pesta Bakar Batu ini dilaksanakan di tempat-tempat terpencil, oleh karena itu sulit untuk mendapatkan fasilitas yang memadai. Namun, setidaknya di Kota Wamena, telah berdiri beberapa penginapan yang dapat Anda sewa. Untuk masalah makan Anda juga tidak perlu khawatir, karena di kota ini juga terdapat banyak rumah makan.
Untuk transportasi, Anda dapat menggunakan pesawat-pesawat kecil yang melayani penerbangan hingga jauh ke daerah pedalaman. Selain itu, di Kota Wamena juga terdapat penyewaan kendaraan roda empat. Jika Anda tidak memiliki kerabat ataupun kenalan yang bisa memandu Anda, Anda dapat memanfaatkan biro perjalanan yang ada di Kota Wamena.




Postingan Terkait



Posting Populer